- ኢզυր κаможαб орэσ
- ደескሿдև щеչወγедро ը
- Ռαпсቪв еժотос аςላчиш ጠኸеլ
- Чусрሎктፋ ዦ
- Αጡ апакл
METODEDAN CORAK TAFSIR MUYASSAR KARYA 'AIDH AL-QARNI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-I) Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Oleh: AMIROH 104211011 Semarang, 30 Juli 2015 Disetujui oleh Pembimbing II Pembimbing I Drs. H. Iing Misbahuddin, MA Muhtarom, M.AgAbstractPenelitian ini menjelaskan tentang metode dan corak yang terdapat pada Tafsir Al-Huda, Tafsir Qur&8223;an Bahasa Jawi Karya Brigjend Purn. Drs. H. Bakri Syahid. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, hasil penafsiran seseorang akan sangat bergantung pada disiplin ilmu yang dikuasai, pengalaman, penemuanpenemuan ilmiah, kondisi sosial, politik dan lain sebagainya. Maka latar belakang militer, akademisi, dan kesukuan yang dimiliki Bakri Syahid ini tentunya juga berpengaruh terhadap penafsiran-penafsirannya dalam Tafsir al-Huda. Teknik penggalian data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik library research kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan. Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis-deskriptif, yaitu sebuah metode pembahasan untuk menerapkan data-data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut. Sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah Tafsir Qur&8223;an Bahasa Jawi Karya Brigjend Purn. Drs. H. Bakri Syahid dan literatur lain yang relevan dengan pembahasan skripsi, terkhusus tentang metode dan corak dalam penafsiran. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tafsir ini yang ditulis dengan model penafsiran berbentuk catatan kaki dan dengan menggunakan bahasa Jawa ini disusun runtut sesuai dengan urutan tertib ayat atau surah seperti dalam mush{af ?Usmani>. Metode yang digunakan mufassir adalah metode ijmali>, yaitu cara menafsirkan Alquran dengan mengemukakan makna global mujmal. Dari berbagai corak yang ada dalam Tafsir al-Huda ini, penulis mendapati bahwa corak sosial budaya/ Adabi-Ijtima&8223;I merupakan corak yang paling dominan. Setidaknya penulis menemukan ada sekitar 62 ayat yang memiliki penafsiran dengan nuansa sosial budaya/ Adabi-Ijtima&8223;IUINJKT - SkripsiSimilar works METODOLOGIDAN CORAK TAFSIR MODERN : - ISJD PDII LIPI. ID. English Deutsch Français Español Português Italiano Român Nederlands Latina Dansk Svenska Norsk Magyar Bahasa Indonesia Türkçe Suomi Latvian Lithuanian česk Tafsi>r al-Kashsha>f, is a tafsi>r written by a Muslim scholar who support ahl al-'adl wa al-tawh}i>d or known as Mu'tazilah. This tafsi>r is influenced by power relations, the terms referred to Michel Foucault, that served ideological interests. This articles employs analytical descriptive to investigate the doctrines of Mu'tazilah that influenced al-Zamakhsharī in his methodological interpretation of tafsīr al-Kashshāf . The result of this study shows that the doctrines of Mu'tazilah influenced al-Zamakhshari’s interpretation of the Qur’anic verses accommodating to the opinion of the Hanafi School and the theology of Mu'tazilah. He tried to confine understanding of verses by changing their meanings in accordance with the five creeds of Mu’tazilah as follows al-tawh}i>d, al-adl, al-wa’d wa al-wa’i>d, al-manzilat bayna al-manzilatain, and al-amr bi> al-ma’ru>f wa al-nahy an al-munkar. On the other side, tafsīr al-Kashshāf employed tahli>li> method and bi al-ra'y model of interpretation. Tafsīr al-Kashshāf utilized critical reasoning in its interpretation, employed the principles of freedom, applied Arabic grammatical nah}wu, provided qira>’ah-qira>’ah, and showed the beauty of literary and language styles of the Qur’an. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A. PENDAHULUAN Alquran yang diyakini sebagai wahyu oleh pemeluknya, hanya dapat dikaji sejauh telah “dibudayakan” dalam bahasa manusia dengan “toleransi' tujuh ahru>f. Sebagai sebuah proses budaya, penafsiran Alquran yang sangat dipengaruhi jika tidak “dideterminasi” ruang waktu, sangatlah wajar jika melahirkan kera-gaman. Justru, orang yang betul-betul faqi>hadalah orang yang dapat melihat sisi-sisi makna yang banyak dari Alquran. Karena-nya, pemutlakan satu bentuk penafsiran, akan selalu merupakan “pemerkosaan” terhadap hakikat kewahyuan Alquran yang membudaya masuk ke dimensi kehidupan manusia yang METODOLOGI DAN KARAKTERISTIK PENAFSIRAN DALAM TAFSIr al-Kashsha>f, is a tafsi>r written by a Muslim scholar who support ahl al-'adl wa al-tawh}i>d or known as Mu'tazilah. This tafsi>ris influenced by power relations, the terms referred to Michel Foucault, that served ideological interests. This articles employs analytical descriptive to investigate the doctrines of Mu'tazilah that influenced al-Zamakhsharī in his methodological interpretation of tafsīr al-Kashshāf . The result of this study shows that the doctrines of Mu'tazilah influenced al-Zamakhshari’s interpretation of the Qur’anic verses accommodating to the opinion of the Hanafi School and the theology of Mu'tazilah. He tried to confine understanding of verses by changing their meanings in accordance with the five creeds of Mu’tazilah as follows al-tawh}i>d, al-adl, al-wa’d wa al-wa’i>d, al-manzilat bayna al-manzilatain, and al-amr bi> al-ma’ru>f wa al-nahy an al-munkar. On the other side, tafsīr al-Kashshāf employed tahli>li>method and bi al-ra'y model of interpretation. Tafsīr al-Kashshāf utilized critical reasoning in its interpretation, employed the principles of freedom, applied Arabic grammatical nah}wu, provided qira>’ah-qira>’ah, and showed the beauty of literary and language styles of the Qur’an. Keywords Methodology; interpretation; al-Kashshaf; tahli>li>; bi al-ra’y; ahl al-'adl wa al- tawh}i>d. __________________________ Abstrak Sebagai karya dari orang yang secara eksplisit menyatakan dirinya pendukung ahl al-'adl wa al-tawh}i>dMu'tazilah, tafsīr al-Kashshāf, tampaknya mengalami relasi kuasa dalam istilah Michel Foucault, atau adanya tarikan kepentingan, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan. Dengan metode deskriptif analitis, artikel ini bertujuan untuk meneliti doktrin-doktrin Mu’tazilah yang mempengaruhi al-Zamakhsharī dalam metodologi dan karakteristik penafsirannya dalam tafsīr al-Kashshāf. Hasil kajian ini membuktikan bahwa doktrin-doktrin Mu'tazilah sangat nampak mempengaruhi penafsirannya, terutama ketika al-Zamakhsharī menta’wilkan ayat-ayat Alquran yang disesuaikan dengan mazhab Hanafi, dan akidah Mu’tazilah. Ia berusaha memagari ayat-ayat agar sesuai dengan paham Mu’tazilah, di antaranya dengan merubah makna ayat ke dalam makna lain berdasarkan lima prinsip kredo Mu’tazilah, yaitu al-tawh}i>d, al-adl, al-wa’d wa al-wa’i>d, al-manzilat bayna al-manzilatain, and al-amr bi> al-ma’ru>f wa al-nahy an al-munkar. Di sisi lain, tafsi>r al-Kashsha>fjuga memiliki metodologi tersendiri, diantaranya menggunakan metode tahli>li>dan corak bi al-ra’ydalam penafsirannya. Tafsi>r al-Kashsha>fmemfungsikan akal dalam penafsirannya, merubah nas ke dalam makna-makna yang berbeda dengan menggunakan akal sebagai dalil-dalil Alquran, prinsip-prinsip kebebasan, penggunaan kaidah-kaidah bahasa Arab nah}wu, penggunaan qira>’ah-qira>’ah, dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengungkapkan nilai-nilai sastra yang halus dan indah. Kata Kunci Metodologi; karakteristik; tahli>li>; bi al-ra’y; dan ahl al-'adl wa tawh}i> DOI Received November 2015 ; Accepted December 2015 ; Published February 2016 Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-KashshadMu'tazilah, tafsi>r al-Kashsha>f, tampaknya mengalami hal seperti itu. Dengan metode deskriptif analitis, tujuan dari kajian ini, yang tidak lain untuk mengetahui sejauh manakah doktrin-doktrin Mu'tazilah mempengaruhi al-Zamakhsharī dalam tafsirnya? Bagaimanakah karakteristik dari tafsi>r al-Kashsha>fitu? Tuli-san sederhana ini akan menjawab kedua per-tanyaan tersebut. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Al-Zamakhsharī dan Penulisan Tafsirnya Abu> al-Qa>sim Ja>rulla>h Mah}mu>d bin 'Umar al-Zamakhshari> al-Khawarizmi> kini masuk Uzbekistan hidup 467-538 H./1075-1145 M. pada masa kejayaan Dinasti Saljuq-Iraq di Bawah Sultan Ma>lik Shah [1070-1092] dan Wazir Niz}am al-Mulk hingga awal kemun-durannya di bawah Sinjar bin Ma>lik Shah [1117-1157 M.].Pada masa ini berdiri Uni-versitas Niz}amiyah dengan al-Ghazali> w. 505 H./1111 M. sebagai salah seorang guru besar-nya, madrasah-madrasah H{anafiyah, sekitar 12 ribu perpustakaan yang masing-masing me-muat 12 ribu eksemplar dalam berbagai disi-plin keilmuwan, dan mendirikan observato-rium di mana Sultan menyelenggarakan konfe-rensi astronomi 468 H./1075 M. atas permin-taan Wazir untuk memperbaharui kalender Hampir seluruh kajian Goldziher dalam Madha>hib al-Tafsi>rberbicara tentang penafsiran-penafsiran yang dipengaruhi oleh tarikan kepentingan mazhab-mazhab. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi>r, terjemahan H{ali>m Al-Najjar Da>r Iqra’, 1982. Mustafa al-S{a>wi> Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zihJakarta Dinamika Barkah Utama, 20 - 23. Lihat juga K. Ali, A Study of Islamic History, terjemahan Adang Affandi Bina Cipta, 1995, 291. Persia, dan ketika itu Umar Khayam w. 1132 M. untuk pertama kalinya belajar kepada Muh}ammad bin Jari>r al-D}abi> al-As}faha>ni> Abu> Mud}ar al-Nahwi> w. 507, seorang Ahli bahasa dan nahwu terkenal di zamannya, yang berbudi luhur dan berhasil menyebarkan mazhab Mu'tazilah di bekal ambisi, ia pergi ke Khu-rasan dan Isfahan. Ia mendekati para peme-gang kekuasaan seperti Muji> al-Daulah Ubai-dillah bin Niz}am al-Mulk, dan Muh}ammad bin Ma>lik Shah dengan memberikan bait-bait syair pujian. Namun ia gagal dan sekitar tahun 512 H. Ia sakit parah. Sejak itu ia berganti haluan ke bidang keilmuan. Ia pergi ke Bagh-dad, belajar Hadis kepada Abu> al-Khita>b bin al-Bat}ar, Abu> Sa'd al-Shafa>ni>, dan Syaikh Islam Abu> Mans}u>r al-H{a>rithi>, belajar Fiqh kepada al-Damgha>ni> H{anafi> dan Ibn al-Sha-jari>. Untuk membasuh dosa ambisinya, ia per-gi ke Makkah dan bertemu dengan seorang pemuka Alawi> bin Isa bin H{amzah bin Wahha>s, dan membaca kitab Si>bawaih atas bimbingan Abdullah bin T{alh}ah al-Ya>biri> H.. Setelah usahanya kembali untuk mendekati penguasa gagal, al-Zamakhshari> kembali ke daerahnya. Saat itu Muh}ammad Anus}t}iqin yang digelari Kwarizm Shah mantan kepala daerah Kwarizm, H. telah mendirikan rumah raja Sultan Sinjar yang kemudian mengukuhkan sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya At}az H.. Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsharī dapat berada di dekatnya, sehingga berkesempatan besar untuk menulis dan menerbitkan antara karya-karya yang kebanyakan dalam bidang bahasa, sastra, dan gramatika H{asan Ibrahi>m H{asan, Ta>ri>kh Al-Isla>m Al-Siya>si> Wa Al-Di>ni> Wa Ath-Thaqafi> Wa Al-Ijtima>’i>, vol. IV Mesir Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1967, 36. Lihat juga Ali, A Study of Islamic History, 292. Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 28. Biografi ini ditulisnya sendiri berupa bait-bait sya'ir dalam Di>wa>n Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 31-42. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshan al-'Arabiyyah, Asa>s al-Bala>ghah, Jawa>hi>r al-Lughah, al-Ajna>s, Muqaddimat al-Adab fi> al-Lughah, al-Asma> fi> al-Lughah, al-Qist}a>s fi> al-'aru>d}, Sawa>'ir al-Amtha>l, al-Mustaqs}î fi> al-Amtha>l, Ajab al-'Ajab fi> Sharh} La>-miyyat al-'Arab, Diwa>n al-Adab, Rabi> al-Abra>r fi> al-Adab wa al-Muh}a>d}ara>h, Tasli-yat al-D{ari>, Di>wa>n Khut}ab, Di>wa>n al-Ra-sa>'il, Di>wa>n Shi'r. b. Bidang Nah}wu Nakat al-Arab fi> Ghari>b al-I'rab fi> Ghari>b Alquran, al-Namu>dhaj fi> 'Ilm al-'Arabiyyah, al-Mufas}s}al, al-Mufrad wa al-Mu'allaf fi> al-Masa>'il al-Nah}wiyyah, al-Ama>li>, H{a>shiah 'ala> al-Mufas}s}al, Sharh} al-Mufas}s}al, Sharh} Kita>b Si>bawaih, al-Na-h}ajja>t wa Mutmim Maha>m Arba>b al-Ha>ja>t fi> al-Ah}a>ji wa al-Algha>z, al-Mufrad wa al-Murakkab. c. Bidang Hadis al-Fa>'iq fi> Ghari>b al-H{adi>thd. Bidang Fiqh dan Ushul al-Ra>d fi> al-Fara>'id} dan al-Minha> Lain-lain Shaqa>'iq al-Nu'man fi> H{aqa>'iq al-Nu'man manakib Imam Hanafi, Nawa->bigh al-Kalim, At}wa>q al-Dhahab, Nas}a>'ih} al-Kubba>r, Nas}a>'ih} al-S{igha>r, Maqa>ma>t, al-Risalah al-Na>s}ih}ahtentang nasihat dan pepatah. Kepakarannya dalam bahasa, sastra, dan gramatika di samping ilmu lain, menjadikan-nya sebagai rujukan rekan-rekan semazhabnya afa>d}il al-na>jiyah al-'ad}iyyah, terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran Alquran. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsharī, sehingga mereka sepakat me-ngusulkan agar ia mendiktekan al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq al-Tanzi>l wa 'Uyu>n al-Aqa>wi>l fi Wuju>h al-Ta'wi>l. Hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surah al-Baqarah, karena saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan beliau mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsi-ran-tafsirannya. Sampai akhirnya beliau Ibn Khalikan dalam Wafaya>t al-A'yan-nya mengutip perkataan Tajuddi>n w. 613 H.. berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di bermazhab Hanafi dan berakidah paham Mu’tazilah. Ia menta`wilkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan mazhab dan akidahnya, dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “Saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”.Kemazhaban itu tercermin dari sya’irnya sebagai berikut Dan aku sandarkan agamaku, keyakinanku dan mazhabku ke jalan yang lurus. Aku memilihnya dan memegang teguh pada Islam adalah pengikut Hanafi sebagai maz-hab mereka yang tidak mengharapkan ba-gian”.Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsharī pada mazhabnya, belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu Alquran dan hadis, bahkan tafsir al-Kashsha>f sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas Tafsi>rAl-Kashshāf & Karakteristiknya Penulis tafsir ini memiliki keistimewaan yang sekaligus membedakannya dari mufasir sebelum, sezaman, dan sesudahnya. Keistime-waan tersebut berkaitan dengan paparannya tentang rahasia-rahasia balaghah yang terkan-dung di dalam Alquran. Kitab tafsirnya itu disinyalir tidak ada bandingannya bila melihat kelebihan-kelebihannya. Sekalipun al-Za-makhsharī termasuk tokoh Mu'tazilah yang gigih membela mazhabnya dan mengecam ulama-ulama Ahlussunnah, tetapi yang tidak ada bandingnya dalam lapangan kebahasaan balaghah, sekalipun menentang akidah Mu'tazilah, tetapi ulama-ulama Ahlussunnah banyak mereguk manfaat dari ilmu al-Za-Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, Cet. I, Jilid I Mat}ba’ah Sharqiyyah, 3. Manna’ Khali>l Al-Qat}t}a>n, Mabah}ith Fi> “Ulu>m Al-Qur”a>nBeirut 1973., 525. Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 179 Nadvi Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim Dan Sumbernya Bandung Pustaka, 1984, 37. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshaf” disusun atas permintaan sahabat-sahabatnya, sebagaimana ungkapannya Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia, selamat dan adil, mereka me-nguasai ilmu bahasa Arab dan tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat, maka aku menje-laskan kandungan-kandungan ayat terse-but yang masih ghaib/tertutup, dan mere-ka pun menyatakan kekagumannya atas diriku, saat itu pula mereka meminta agar aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan Alquran, serta mengajarkannya kepada mereka “Sekum-pulan tentang hakikat-hakikat turunnya Alquran dan pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan”. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-tokoh agama ahl al-adl wa al-tauh}i>d. Dan yang mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu yang mere-ka minta itu hukumnya fard}u ain. Di mana pada waktu itu situasi dan kondisi negeri sedang kacau, dan lemahnya Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Alquran, trans. Mochtar Zaerni dan Abdul Qodir Tafsir-tafsir Alquran Pustaka, 1987, 115. Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, 17-20. tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-macam keil-muan, apalagi berbicara tentang pengua-saan ilmu Baya>n dan ilmu Badi`. Karena desakan sahabat-sahabatnya serta tokoh-tokoh Mu’tazilah, akhirnya Imam al-Zamakhsharī memenuhi permintaan mereka untuk menulis tafsir al-Kashsha>f. Kemudian al-Zamakhsharī mendiktekan masalah fawa>tih} al-suwa>r huruf-huruf pembuka surah dan beberapa pembicaraan tentang hakikat-hakikat surah al-Baqarah. Dalam penafsirannya itu, ia menempuh cara dialog secara terinci. Tampaknya hasil diktean itu mendapat sambutan yang luar biasa di berbagai negeri. Terbukti, dalam perjalanan yang kedua menu-ju Makkah, banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk memperoleh karya tulisnya itu. Bahkan setelah tiba di Makkah, Amir Makkah yakni Ibnu Wahhas menyampaikan keinginannya, bahwa dirinya bermaksud mengunjungi al-Zamakhsharī di Kharizm untuk memperoleh karya yang di-maksud. Semua itu menggugah al-Zamakh-sharī untuk memulai menulis tafsirnya, ken- dati dalam bentuk yang lebih ringkas dari pada yang didiktekan al-Juwaini, ada tiga alasan yang melatarbelakangi cara penafsiran yang lebih ringkas itu. Pertama ia telah berumur 60 tahun lebih; Kedua, ia bermaksud menafsirkan kese-luruhan Alquran; dan ketiga, karya tulisnya sudah dinanti-nantikan oleh orang didukung lingkungan spiritual Makkah, al-Zamakhsharī menyelesaikan pe-nulisan tafsirnya dalam tempo lebih dari 30 bulan. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 526 H. Dalam salah satu naskah disebutkan bahwa penulisan karya diselesaikan pada pagi hari, Senin 23 Rabi’ul Akhir 528 menjelaskan, bahwa al-Zamakhsharī mencantumkan beberapa puisi A. Malik Madani, “Al-Kasysyaf Tafsir Mu’tazilah Dalam Literatur Kaum Sunni,” Pesantren VIII, no. I 1991, 89. Al-Juwaini, Manhaj Al-Zamakhshari Fi> Tafsi>r Al-Qu’ra>n Wa Baya>n I'Jazih., 78. Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, 304. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashsha, yaitu mufassir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat Alquran. Kemudian mufassir mengikatkan diri pada sis-tematika tertib mush}afi> dalam menjelaskan surah dan ayat, secara seksama meneliti, me-nyingkap segi-segi munasabah dan meman-faatkan bantuan asba>b al-nuzu>lhadis-hadis Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in. Terkadang dipadukan dengan hasil pikiran dan keahlian mufassir, dan terkadang dengan kupasan rumusan al-Farmawī di atas, maka metode tafsir yang digunakan dalam tafsir al-Kashshāf adalah metode tahlili, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 79. Abdul Hayyi Al-Faramawi, Al-Bidayat Fi> Tafsi>r Al-Maudhu’i> Beiru>t 1977., 24. Zamakhsharī dalam menafsirkan Alquran, dimana ketika menafsirkan, ia berusaha me-ngungkapkan seluruh pengertian yang dimak-sud hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengertian tentang nas Alquran, hadis, riwayat sahabat, dan tabi’in, pengetahuan tentang na>sikh mansukh, ilmu qira`ah, cerita isra’iliyyat, ilmu us}u>l al-fiqh, ilmu balaghah serta rahasianya, ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam teologi. Kemudian Basuni Faudah mengkategori-kan tafsir al-Kashshāf ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y, di mana akal pikiran mempu-nyai nilai yang lebih dan dipertuankan. Dalam al-Kashshāf sendiri dipenuhi hadis-hadis sahih, al-Zamakhsharī pun mengutip dari para sahabat dan tabi’in, tetapi tentunya tidak bertolak belakang dengan mazhabnya yang I’tizal kenyataannya al-Kashshāf dikategori-kan sebagai tafsir yang bercorak tafsir bi al-ra`y, karena didasarkan pada alasan, bahwa tafsirnya merupakan tafsir ayat-ayat Alquran yang didasarkan pada ijtihad mufassirnya, dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utamanya. Kemudian Kamil Y. Advich membenarkan bahwa tafsir al-Kashshāf seba-gai kitab tafsir yang mewakili tafsir bi al-ra` pun menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan metode dan corak tafsir al-Kashshāf ini, yaitu 1. Dalam setiap penafsiran ayat-ayat Alquran, akal senantiasa didahulukan dan dikuasa-kan, begitu juga terhadap al-sunnah, al-ijmā’, dan al-qiyās. Akal bagi al-Zamakh-sharī dijadikan alat ketika menafsirkan dan memalingkan nas dalam keadaan terbuka dan tergali, karena ia tidak menerima nas dengan makna zahirnya. Sebenarnya al-Faudah, Tafsir-Tafsir Alquran, 104. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Al-Quran Jakarta Bulan Bintang, 1991, 5. Advich Kamil Y., Meneropong Doktrin Islam, terjemahan Shonhadji Sholeh Bandung Al Ma’arif, 1987, 88. Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 92-159. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshasikh mansukh, bagi al-Zamakhsharī merupakan kaidah tafsir yang boleh bahkan harus digunakan karena Allah menghapus satu syariat dengan syariat lain, dengan pertimbangan kemas-lahatan dan Dia Maha Mengetahui yang maslahat dan yang madharat. Jadi Dia menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan menghapus apa yang dikehendaki-Nya ka-rena ada hikmahnya. Dengan demikian, al-Zamakhsharī menyan-darkan pada tafsir bi al-naqli, selama tidak bertentangan dengan Penggunaan prinsip-prinsip kebebasan a. Al-Zamakhsharī sebagai seorang yang mahir dalam bahasa; b. Penafsirannya sesuai dengan alam piki-ran dan kondisi lingkungan orang Arab; Faudah, Tafsir-Tafsir Alquran, 104. c. Ia juga sebagai ahli bahasa yang memi-liki perasaan bahasa yang halus dan dalam. 5. Penggunaan kaidah-kaidah bahasa Arab nah}wu a. Sebagai seorang ahli nah}wu, ia sering kali memberikan penjelasan tentang hu-kum nah}wu dan latar belakang perbe-daan makna. Kemudian ia menjelaskan arah Alquran dari segi yang bisa mem-bantu dalam menafsirkan dan menyusun maknanya; b. Terkadang perhatiannya tertuju pada susunan makna dalam satu ayat, karena adanya hubungan makna secara keselu-ruhan dalam Alquran. 6. Penggunaan qira`ah-qira`ah dalam penaf-siran a. Ia menggunakan qira`ah dalam penaf-sirannya untuk mendapatkan kejelasan. Dan untuk memperkuat penafsirannya; b. Menjelaskan perbedaan antara qira`ah-qira`ah dari aspek bahasa, jika terjadi kondisi darurat; c. Menggunakan mana yang kuat dalam menyingkap kandungan Alquran, se-hingga qira`ah yang diutamakannya adalah qira`ah yang termashur dan bisa membantu dalam menafsirkan suatu ayat; d. Qira`ah yang diutamakannya yang mengandung keindahan dan kekuatan makna; e. Menurutnya bahwa pengetahuan qira`ah membutuhkan keahlian dalam bidang nah}wu. 7. Menafsirkan ayat-ayat ahkam dengan pandangan mazhab fikihnya. 8. Menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengungkapkan nilai-nilai sastra yang ha-lus dan indah. a. Ia menghidupkan perasaan dan ruhnya di dalam memuji nas Alquran, sehingga terlihat batin dan hakikat maknanya; b. Terkadang ia mencantumkan sya’ir yang mengandung makna ayat yang ditafsir-kannya. 9. Menurutnya Alquran adalah kitab agama dan dunia, sehingga Alquran tidak hanya Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshan, ilmu Ma’ani>, serta keindahan-keindahan bahasa untuk menerangkan bahwa Alquran adalah kalam Ilahi yang tak dapat ditandingi oleh di atas, diperkuat oleh Kamil Y. Advich, bahwa keistimewaan tafsir ini ini adalah kebesaran pengarangnya, yang memi-liki hampir semua segi bahasa Arab, dan al-Zamakhsharī telah membuktikan bahwa Alqu-ran itu unik dengan susunan gaya bahasa yang saling berkaitan. Demikianlah gambaran secara optimal tentang tafsir al-Kashshāf mengenai metode dan coraknya, sehingga dapat terlihat sisi-sisi keistimewaannya. b. Kekhususan Penafsiran Al-Zamakhsharī Al-Kashshāf adalah tafsir yang paling terkenal di antara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra`y yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alūsī, Abī Su’ud, Al-Nasafī, dan para mufassir lainnya banyak menukil dari karya al-Zamakhsharī ini, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya telah diung-kapkan dan diteliti oleh Alamah Ah}mad al-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intis}āf. Dalam kitab ini al-Nayyir menyerang al-Zamakhsharī dengan mendiskusikan masa-lah akidah mazhab Mu’tazilah yang dikemu-kakannya, dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya, sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan. Al-Maktabah al-Tijariyah Mesir menerbitkan al-Kashshāf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Mus}t}afa> H{usain Ah}mad, Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 163-191. M. Hasybi Ash-Shiddieqi, Ilmu-Ilmu Al-Quran Jakarta Bulan Bintang, 1972, 246-247. dan diberi lampiran empat buah kitab, yaitu 1 al-Intis}āfoleh al-Nayyir; 2 Ash-Sha>fi’īfi> Takhri>j Ah}a>di>tth al-Kashshāf oleh al-H{a>fiz} Ibn H}ajar al-Asqalani>; 3 Ha>shiyah tafsi>r al-Kashsha>foleh Syaikh Muh}ammad Ulya>n al-Marzu>qi>; dan 4 Masha>hid al-Insha>f ala> Shawa>hid al-Kashshāf, juga oleh al-Marzu>qi>. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir al-Zamakhsharī mengandung banyak akidah Mu’ menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama yang berkenaan dengan lima prinsip, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat, dan amar ma’ru>fnahi dalam sebuah penafsiran tidak mesti diberi arti biasa melainkan harus di-ta`wilkan. Ia memberikan contoh, makna nad}i>rah dalam surah al-Qiya>mah yang tidak bisa diartikan melihat Tuhan, karena menurut paham Mu’tazilah hal itu mustahil, lalu ia memberi arti “mengharapkan” raja`. Satu kata menurutnya, adakalanya berarti sendirian majaz. Prinsip-prinsip al-Zamakhsharī dalam menafsirkan Alquran sebagai berikut 1. Dalam penafsiran al-Zamakhsharī senan-tiasa mendahulukan dan menguasakan akal; 2. Al-Zamakhsharī mendahulukan dan mene-rapkan prinsip-prinsip Mu’tazilah dalam menafsirkan Alquran; dan 3. Terkadang al-Zamakhsharī menjadi mu-fassir naql. Seperti ketika menafsirkan Surah al-Baqarah ayat 26, ia menggunakan periwayatan. Selain itu terkadang menggu-nakan lafal qabla atau rawa>, ketika hendak menjelaskan asbāb al-nuzūl. 4. Al-Zamakhsharī menggunakan prinsip-prinsip kebahasaan; 5. Al-Zamakhsharī menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab; 6. Al-Zamakhsharī juga menggunakan qira`ah-qira`ah dalam penafsiran; Al-Qat}t}a>n, Mabah}ith Fi> 'Ulu>m Al-Qur'a>n, 525. Aboebakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam Solo Ramadhani, 1968, 72. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshar Al-KashshāfTampaknya, tafsi>ral-Kashshāfmemiliki dua karakteristik dominan 1. Kental dengan Faham Mu'tazilah Karakteristik ini terlihat mulai dari pembentukan rasionalitas-metodologis penaf-siran hingga penerapannya dalam merasio-nalisasikan ayat-ayat Alquran untuk men-dukung doktrin-doktrin Mu'tazilah. Rumusan prinsip rasionalitas metodologisnya didasar-kan pada ayat 7 Surah An. Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muh}kamatitu adalah yang berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu'tazilah yang terhimpun dalam us}u>l al-khamsah, 1 Tauh}i>d, 2 Adl, 3 Wa'a>d-wa'i>d, 4 Manzilat bayn al-manzilatain, dan 5 Amar ma'ru>f nahy al-munkar. Sedang semua ayat yang zahirnya bertentangan dengan us}u>l al-khamsah itu maka termasuk dalam kategori mutasha>biha> untuk menopang rasionalisasinya ini, al-Zamakhsharī sering memanfaatkan pengeta-huan bahasa, sastra, gramatika, bahkan qira'ah-nya. Penafsiran yang merupakan rasionalisasi ayat-ayat Alquran untuk mendukung doktrin-doktrin Mu'tazilah, di antaranya tentang a. Tentang Tauhid yang diradikalkan men-jadi nafy al-tajsi>m wa al-tashbi>h, nafy al-s}ifa>t, istih}a>lat ru'yatillah dan khalq al-Qur’a>n. Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja> Bandingkan dengan Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih,108-109. b. Nafy al-tajsi>m wa al-tashbi>hc. Nafy al-s}ifa>tdalam hal ini qudrat dan ilmu yang merupakan Dzat-Nya, diung-kapkan dengan qa>dir li dha>tih dan 'a>lim li dha>tihd. Khalq al-Qur’a>n Ketika menemukan nas Alquran yang kontradiksi dengan prinsip-prinsip mazhab-nya, al-Zamakhsharī akan mengusahakan penyesuaian antara keduanya, sekalipun untuk itu harus melakukan penyimpangan. Ini adalah salah satu prinsipnya dalam menafsirkan Alquran. Jika menjumpai sebuah ayat yang berlawanan dengan pandangan maz-habnya dan sebuah ayat lain yang menguatkan pandangan mazhabnya, ia katakan bahwa ayat yang pertama bersifat mutasha>bbihdan yang kedua muhkam, kemudian mentolak-ukurkan yang pertama pada yang Penuh dengan analisa bahasa, sastra dan gramatika Di sinilah, tampaknya posisi penting dari tafsir al-Kashshāf. Al-Dhahabi> menyebutnya qimah al-Kashshāf 'ilmiyyah. Dalam bidang Ma'a>ni al-Qur’a>n, al-Zamakhsharī mengungkapkan ta'bir jama>lydengan porsi yang cukup banyak dari penggunaan 1 isim isha>rah, 2 Isim maus}u>l, 3 jumlah ismiyah, 4 taqdi>m al-khabar 'ala> al-mubtada’, 5 tathniyah, 6 ta'nith, 7 nisbah, 8 tanki>r, 9 id}ma>r, 10 fi'il, 11 ism fa>'il, 12 hadhf maf'u>l bih, 13 badl, 14 nida’, dan berbagai uslu>b, seperti 1 uslu>b al-ija>z, 2 uslu>b i-tikra>r, 3 uslu>b al-iltifa>t, 4 Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, Jilid II Mat}ba’ah Sharqiyyah, 20. Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, Jilid II, 383. Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, Jilid II, 239 Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l, Jilid II, 40 dan 68. ’Abd al-H{ali>m Mah}mu>d Muni, Mana>hij Al-Mufassiri>n Kairo Da>r al-Kita>b al-Mishri, 1978., 105. Lihat juga, Goldziher, Madha>hib Al-Tafsi>r.,140. Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufassiru>n 433. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshab al-was}l wa al-isti'na>f, 5 i'tira>d} dan istifham taqri>ri>, dan lain-lain. Dalam bidang Baya>n al-Qur’a>n, al-Zamakhsharī menunjukkan penggunaan 1 isti'arah, 2 maja>z, 3 kina>yah, 4 ta'rid}, 5 tamthil dan takhyil, dan lain-lain. Dalam bidang Badi>' al-Qur’an, al-Zamakh-sharī mengungkapkan keindahan pemakaian 1 Jina>s, 2 musha>kalah, 3 uslu>b al-liff, dan Referensi Al-Zamakhsharī dalam Tafsi>r Al- Kashsha>fa. Tafsir Tafsi>r Mujahid w. 103/104 H., tafsi>r Amr bin Ubaid al-Mu'tazili> w. 144 H., Abu Bakr al-As}amm al-Mu'tazili> w. 235 H., tafsi>r al-Zujaj w. 311 H., tafsi>r al-Rumma>ni> w. 384 H.. b. Hadis Muslim dan lain-lain tidak jelas c. Qira'at Mus}h}afAbdullah bin Mas'ud, mus}h}af al-H{arth ibn Suwaid, mus}h}af Ubai, mus}h}af - mus}h}afHijaz dan Sham, dll. d. Bahasa dan Nah}wu Kita>b Sibawaih, Isla>h} al-Mant}i>qIbn Siki>t, w. 244 H., al-Ka>milMubarrad, w. 285 H., al-Kita>b al-Mutammim fi> al-Khat} wa al-Hijra'i> Abdullah bin Dursitawaih, w. 347 H., al-H{ujjah dan al-JalabiyyahAbu> Ali> al-Farisi>, w. 377 H., al-Tama>m dan al-Muh}tasibIbn Jinni w. 393 H., al-Tibya>nAbu> al-Fath al-H{amda>ni>. e. Sastra Al-H{ayawa>n al-Ja>hiz}, HamasahAbu> tamam, Istaghfir wa istaghfiriAbu> al-Ulan al-Ma'ri>, Nawa>bigh al-Kalim, al-Nas}a>'ih al-S{igha>r dan Sha>fi al-'Ay min Kala>m al-Sya>fi'i> al-Zamakhsharī. Lihat contoh-contoh dalam Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 219-261. f. Nasihat dan cerita beberapa buku nasihat dan tasawuf seperti Shahr bin H{aushab, Rabi'ah, T{awus, Ma>lik bin SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut 1. Doktrin-doktrin Mu'tazilah mempengaruhi al-Zamakhsharī dalam tafsirnya a. Al-Zamakhsharī menta’wilkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan mazhab H{anafi>, dan akidah Mu’tazilah yang dianutnya, dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “Saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”; b. Al-Zamakhsharī berusaha memagari ayat-ayat agar sesuai dengan paham Mu’tazilah, di antaranya; 1 Merubah makna ayat ke dalam makna lain; dan 2 Al-Zamakhsharī mendahulukan dan menerapkan prinsip-prinsip mu’tazilah dalam menafsirkan Alquran, terlihat ketika posisinya sebagai mufassir, me-mandang Alquran secara umum, ia men-jadikan ayat-ayat yang jelas mendukung mazhabnya mu’tazilah sebagai muh-kama>t, sebaliknya jika ia menemukan ayat-ayat yang jelas bertentangan, maka dianggapnya sebagai mutasha>biha>t; dan 3 Al-Zamakhsharī menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama yang berkenaan dengan lima prinsip, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat, dan Amar ma’ru>f nahy al-munkar. c. Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsharī terhadap mazhabnya, belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu Alquran dan hadis, bahkan tafsir al-Kashshāf sangat berjasa Lihat bukti penyebutannya dalam al-Kashsha>f, Al-Juwaini>, Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih, 80-92. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashsha; dan 2 Corak penafsirannya yaitu bi al-ra’y; b. Dalam metodenya, ia memfungsikan akal dalam tafsir, sehingga makna-makna Alquran seluruhnya berkaitan, tidak bertentangan satu sama lainnya; c. Dalam metodenya, ia merubah nas ke dalam makna-makna yang berbeda, dengan menggunakan dalil-dalil Alquran dan akal yang selalu menyertainya, teru-tama dalam mengambil istinbat} hukum fikih; d. Dalam setiap penafsiran ayat-ayat Alquran, akal senantiasa didahulukan dan dikuasakan, begitu juga terhadap al-sunnah, al-ijma>’, dan al-qiya>s. Akal bagi al-Zamakhsharī dijadikan alat ketika menafsirkan dan memalingkan nas da-lam keadaan terbuka dan tergali, karena ia tidak menerima nas dengan makna zahirnya; e. Al-Zamakhsharī terkadang menjadi mufassir naql, dalam tafsirnya terkadang ia menggunakan asbāb al-nuzūl, muna>-sabah musnaddan riwayat yang sampai pada sahabat. Dalam hal na>sikh man-sukh, bagi al-Zamakhsharī merupakan kaidah tafsir yang boleh bahkan harus digunakan karena Allah menghapus satu syariat dengan syariat lain, dengan per-timbangan kemaslahatan dan Dia Maha Mengetahui yang maslahat dan yang madharat. Jadi Dia menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan menghapus apa yang dikehendaki-Nya karena ada hikmahnya; f. Penggunaan prinsip-prinsip kebebasan; g. Penggunaan kaidah-kaidah bahasa Arab nah}wu; h. Penggunaan qira`ah-qira`ah dalam pe-nafsiran; i. Menafsirkan ayat-ayat ahkam dengan pandangan mazhab fikihnya; j. Menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengungkapkan nilai-nilai sastra yang halus dan indah; dan k. Tampaknya, tafsir al-Kashshāf memiliki dua karakteristik dominan 1Kental dengan paham Mu'tazilah; dan 2 Penuh dengan analisa bahasa, sastra dan gramatika. Demikian beberapa kesimpulan yang dapat penulis kemukakan dalam kajian ini. DAFTAR PUSTAKA Aceh, Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam. Solo Ramadhani, 1968. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsi>r Wa Al-Mufassiru>n. Al-Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran. Translated by Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Rajawali, 1991. Al-Faramawi, Abdul Hayyi. Al-Bidayat Fi> Tafsi>r Al-Maud}u>’i>. Beiru>t 1977. Ali, K. A Study of Islamic History. Translated by Adang Affandi. Bina Cipta, 1995. Al-Juwaini, Mustafa al-S{a>wi>. Manhaj Al-Zamakhshari Fi> Tafsi>r Al-Qu’ra>n Wa Baya>n I'Jazih. Kairo Da>r al-Fikr, 1968. Al-Juwaini>, Mustafa al-S{a>wi>. Manhaj Al-Zamakhshari> Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Wa Baya>n I'ja>zih. Jakarta Dinamika Barkah Utama, Al-Qat}t}a>n, Manna`’ Khali>l. Mabah}ith Fi> 'Ulu>m Al-Qur'a>n. Beirut 1973. Al-Zamakhshari>. Al-Kashsha>f 'an H{aqa>’iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l. Cet. I. Jilid I. Mat}ba’ah Sharqiyyah, ———. Al-Kashsha>f 'an H{aqa>'iq Al-Tanzi>l Wa 'Uyu>n Al-Aqa>wi>l Fi> Wuju>h Al-Ta'wi>l. Jilid II. Mat}ba’ah Sharqiyyah, Ash-Shiddieqi, M. Hasybi. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta Bulan Bintang, 1972. Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam Al-Quran. Jakarta Bulan Bintang, 1991. Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-Tafsir Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir Al-Kashshahib Al-Tafsi>r. Translated by Hali>m Al-Najjar. Da>r Iqra’, 1982. H{asan, H{asan Ibrahi>m. Ta>ri>kh Al-Isla>m Al-Siya>si> Wa Al-Di>ni> Wa Ath-Thaqafi> Wa Al-Ijtima>’i>. Vol. IV. Mesir Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1967. Madani, A. Malik. “Al-Kasysyaf Tafsir Mu’tazilah Dalam Literatur Kaum Sunni.” Pesantren VIII, no. I 1991. Muni, ’Abd al-H{ali>m Mah}mu>d. Mana>hij Al-Mufassiri>n. Kairo Da>r al-Kita>b al-Mishri, 1978. Muzaffaruddin, Nadvi. Pemikiran Muslim Dan Sumbernya. Bandung Pustaka, 1984. Y., Advich Kamil. Meneropong Doktrin Islam. Translated by Shonhadji Sholeh. Bandung Al Ma’arif, 1987. ... Tafir tematik ini menjadi sebuah proses perkembangan pendekatan, paradigma dan metodologi keilmuan tafsir dari zaman ke zaman akan adanya diferensiasi langkah interpretasi al-Qur'an. Perkembangan penafsiran ini berkembang pada masa abad 19 Nursidik & Maulana, 2021;Solahudin, 2016. Penulis melihat bahwa ada beberapa pendapat terkait perkembangan metode tematik dalam interpretasi al-Qur'an. ...Adi Pratama AwadinAsep Taopik HidayahMetode maudhu’i tematik dalam penafsiran Al-Qur’an saat ini dipandang sebagai metode tafsir terbaik untuk menjawab tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang semakin kompleks. Diantara bukti nyatanya adalah merebaknya karya tulis berupa metode tafsir tematik saat ini, baik yang ditulis secara individual maupun secara berkelompok dalam sebuah tim. Melihat antusiasme yang sangat tinggi terhadap metode tafsir maudhu’i ini, peneliti memandang perlu untuk mengkaji lebih dalam akan hakikat dan urgensi metode tafsir maudhu’i tersebut. Riset ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan metode maudhu’i dari beberapa aspek penting mulai dari historis, dasar dan urgensi, prosedur hingga kelebihan dan kekurangannya. Penelitian ini bersifat kualitatif, menggunakan metode studi kepustakaan library research dan pendekatan deskriftif-analitik. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara historis pondasi metode maudhu’i ini telah muncul dari zaman Nabi saw, namun secara sitematis digagas pertama kali oleh para peneliti di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir di Fakultas Teologi pada abad ke 14 H/20 M. Adapun dasar dan ugensi metode maudhu’i ini adalah bermula pada era Nabi Muhammad Saw untuk menjawab persoalan yang terjadi ketika sahabat bertanya mengenai suatu perkara, Kemudian prosedur yang harus ditempuh pada tafsir tematik ini dimulai dari memilih judul, menentukan ayat, menyusun ayat, mempelajari penafsiran ayat, memahami makna ayat, menyampaikan ide bahasan, memperhatikan metodologi, dan mempunyai tujuan yang jelas. Terdapat banyak kelebihan dari metode maudhui ini diantaranya bersifat praktis, sistematis, dinamis, efektif, efisien, dan dapat menjawab tantangan zaman kontemporer. Adapun kekurangannya yakni membatasi pemahaman ayat dan mempartisi pembahasan ayat yang bersanding dengan tema lainnya.... Kedua, tafsir pada masa tabiin yang titik perkembangannya ditandai dengan berdirinya madrasah-madrasah tafsir Al-Qur'an di beberapa wilayah. Ketiga, tafsir pada masa pembukuan yang titik perkembangannya ditandai dengan masuknya cerita-cerita israiliyat yang merupakan pijakan lahirnya tafsir bermazhab dirayah Solahudin, 2016. ...Akhdiat AkhdiatAbdul KholiqPenafsiran Al-Qur’an telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai dengan sekarang ini. Suatu produk penafsiran yang muncul dari masa Nabi SAW sampai sekarang tentulah berbeda, baik dari metode maupun kesimpulan yang dihasilkan. Hal itu terjadi karena kebutuhan suatu penafsiran setiap masa selalu berbeda-beda. Di samping itu munculnya anggapan bahwa produk tafsiran lama tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman akan setiap permasalahan manusia. Maka karena itu, dari empat metode yang sudah disimpulkan oleh Al-Farmawi, yaitu ijmāli, taḥlīli, muqāran, dan metode mauḍū’i, penulis mencoba untuk membahas metode ijmāli. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas kemunculan tafsir ijmāli, dasar dan urgensi tafsir ijmāli, langkah-langkah tafsir ijmāli dan kelebihan serta kekurangan tafsir ijmāli. Adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif berbasis library research dengan pendekatan analisis-deskriptif. Berdasarkan metode tersebut, artikel ini menemukan hasil bahwa metode ijmāli muncul pertama kali pada masa Nabi SAW. Tafsir ijmāli adalah metode penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan singkat, global dan tidak panjang lebar. Dan metode ini sangat cocok untuk digunakan bagi pemula dan orang awam dalam memahami Al-Qur’an. Adapun langkah-langkahnya adalah menguraikan ayat secara sistematika Al-Qur’an, menjelaskan secara umum serta makna mufradatnya, berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab, dan bahasa yang digunakan mengupayakan pemilihan diksi yang mirip dengan lafadz yang digunakan oleh Al-Qur’an. Di samping itu metode ijmāli memiliki kelebihan jelas dan mudah dipahami, terbebas dari penafsiran israiliyat dan dekat dengan bahasa Al-Qur’an. Sedangkan kekurangannya adalah petunjuk Al-Qur’an yang tidak utuh/parsial dan penafsiran dangkal atau tidak ZulaihaBahasan kenabian dalam Islam adalah jantung bagi pemahaman ajaran agama Islam lainnya. Wacana tentang kenabian biasanya menjadi pembahasan pada kajian filsafat. Padahal wacana ini juga bisa didekati dengan dengan kajian ayat ayat Alquran dan hadis. Jika filsafat kenabian membahas masalah ini dengan sangat kritis dari sisi epistemologisnya, maka dalam Alquran pembahasan tentang kenabian lebih pada persoalan istilah yang digunakan juga misi kenabian yang dibawa oleh masing-masing nabi dan rasul tersebut. Kenabian dalam Alquran menggunakan istilah nabi dan Rasul. Istilah Nabi berkaitan dengan kata naba’ yang maknanya berita, kabar, warta atau cerita. Sedangkan Rasul, secara harfiah berarti pesuruh atau diutus. Kata jamaknya adalah rusul. Alquran sering pula menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu mereka yang para ulama ada pada seputar pembahasan nabi dan rasul, jumlah mereka dan persamaan atau keunggulan para nabiAji FatahilahAhmad IzzanErni IsnaeniahPenelitian ini mengkaji penafsiran Ali al-Shabuni tentang ru’yatullah dan sifat-sifat Allah yang dianggap anthrofomorphisme. Tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui kecenderungan Ali al-Shabuni dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan wacana teologi, terutama tentang ru’yatullah dan anthrofomorphisme serta perbuatan Tuhan afal Allah dan manusia. Metode yang digunakan ialah deskriptif-analitis. Sumber primernya yaitu kitab Shafwah al-Tafâsîr karya Ali al-Shabuni. Penelitian ini menemukan bahwa ketika Ali al-Shabuni menafsirkan tentang ru’yatullah dalam surat al-Qiyamah [75] 22-23, ia sepaham dengan teologi ahlu al sunnah yang berpendapat bahwa Tuhan bisa dilihat di akhirat kelak. Dalam menafsirkan surat an-Nisa [4] 164 tentang Allah berbicara dengan Musa, ia pun cenderung dengan teologi Asy’ari, bahwasannya Allah berbicara dengan Musa secara langsung. Demikian pula ketika menafsirkan masalah anthropomorfhisme dalam surat as-Sajdah [32] 4, Ali al-Shabuni sepaham dengan teologi Asy’ari. Dalam menafsirkan kata بِيَدَىَّ pada surat Shaad [38] 75, cenderung berwarna ahlu al-sunnah karena dalam memahami ayat seperti ini ahlu al-sunnah menggunakan dua metode, yaitu tafwidh dan takwil. Demikian pula ketika memahami perbuatan Tuhan dan manusia yaitu surat al-Saffat [37] 96, sepaham dengan teologi Asy’ari yang mengatakan bahwa Allah yang menciptakan kalian dan perbuatan kalian. Secara umum, dalam menafsirkan ayat-ayat teologi cenderung mengikuti teologi ahlussunnah Asy’ Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 116-126 126Abd al-H{ ali> m Mah} mu> d. Mana> hij Al- Mufassiri> n. Kairo Da> r al-Kita> b al-MishriMuniMuni, 'Abd al-H{ ali> m Mah} mu> d. Mana> hij Al- Mufassiri> n. Kairo Da> r al-Kita> b al-Mishri, r Wa Al-Mufassiru> nMuhammad Al-DzahabiHusainAl-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsi> r Wa Al-Mufassiru> n. Al- Zamakhshari Fi> Tafsi> r Al-Qu'ra> n Wa Baya> n I'Jazih. Kairo Da> r al-FikrMustafa Al-JuwainiAl-Juwaini, Mustafa al-S{ a> wi>. Manhaj Al- Zamakhshari Fi> Tafsi> r Al-Qu'ra> n Wa Baya> n I'Jazih. Kairo Da> r al-Fikr, Tafsir Mu'tazilah Dalam Literatur Kaum SunniA MadaniMalikMadani, A. Malik. "Al-Kasysyaf Tafsir Mu'tazilah Dalam Literatur Kaum Sunni." Pesantren VIII, no. I 1991.WawasanWawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 116-126 DAFTAR PUSTAKA Aceh, Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam. Solo Ramadhani, Dalam Penafsiran Al-Quran. Translated by Hamim Ilyas dan Machnun Husein. RajawaliMuhammad Al-DzahabiHuseinAl-Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran. Translated by Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Rajawali, Fi> Tafsi> r Al-Maud} u> 'i>Abdul Al-FaramawiHayyiAl-Faramawi, Abdul Hayyi. Al-Bidayat Fi> Tafsi> r Al-Maud} u> 'i>. Beiru> t n Al-Aqa> wi> l Fi> Wuju> h Al-Ta'wi> l, Jilid II, 383. 32 Al-Zamakhshari> , Al-Kashsha> f 'an H{ aqa> 'iqWaWa 'Uyu> n Al-Aqa> wi> l Fi> Wuju> h Al-Ta'wi> l, Jilid II, 383. 32 Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha> f 'an H{ aqa> 'iqTafsir-Tafsir Muhammad Solahudin Metodologi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsi r Al-Kashsha r Al-Kashsha< f
ArticlePDF Available AbstractTulisan ini mencoba memaparkan ragam pendekatan yang telah digunakan oleh para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an sejak periode klasik hingga modern-kontemporer. Berbagai penggunaan istilah dalam Ulum al-Qur’an, seperti, pendekatan, metode, dan corak, yang kadang terkesan tumpang tindih dan rancu, juga akan dipetakan dan dijelaskan disertai dengan keterangan beberapa kitab terkait. Tulisan ini menggunakan tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir klasik ke dalam empat jenis, 1 pendekatan berbasis linguistik, 2 pendekatan berbasis logika, 3 pendekatan berbasis tasawuf, dan 4 pendekatan berbasis tradisi/riwayat. Kemudian ia mengembangkan gagasan mengenai penekanan pada pendekatan kontekstual, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat etika-hukum. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by Kusroni Kusroni on Jan 04, 2021 Content may be subject to copyright. 89 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH MENGENAL RAGAM PENDEKATAN, METODE, DAN CORAK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN Kusroni Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Email kusroni87 Abstrak Tulisan ini mencoba memaparkan ragam pendekatan yang telah digunakan oleh para ulama dalam menafsirkan al-Qur‟an sejak periode klasik hingga modern-kontemporer. Berbagai penggunaan istilah dalam Ulum al-Qur’an, seperti, pendekatan, metode, dan corak, yang kadang terkesan tumpang tindih dan rancu, juga akan dipetakan dan dijelaskan disertai dengan keterangan beberapa kitab terkait. Tulisan ini menggunakan tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir klasik ke dalam empat jenis, 1 pendekatan berbasis linguistik, 2 pendekatan berbasis logika, 3 pendekatan berbasis tasawuf, dan 4 pendekatan berbasis tradisi/riwayat. Kemudian ia mengembangkan gagasan mengenai penekanan pada pendekatan kontekstual, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat etika-hukum. Kata kunci pendekatan, corak, metode, tafsir al-Qur’an. Pendahuluan al-Qur‟an menduduki posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Sedangkan kebutuhan mereka untuk memahami dan mengamalkan al-Qur‟an tidak dapat dipisahkan dari tafsir. Karena itu, kitab-kitab tafsir selalu bermunculan dari masa ke masa untuk memenuhi kebutuhan umat. Terdapat berbagai pendekatan, metode dan corak kecenderungan dalam tafsir al-Qur‟an. Istilah-istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, tumpang-tindih, serta tidak digunakan secara mapan. Sebagian ulama menyebut metode penafsiran ada dua, yakni metode penafsiran dengan riwayat serta dengan ra’yu. Ada sebagian penulis menyebut beberapa metode penafsiran, yang oleh penulis lain tidak disebut sebagai metode, melainkan kecenderungan ittijah, seperti tafsir fiqhi, falsafi, „ilmi, ijtima’i, dan lain sebagainya. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 90 Berangkat dari kerancuan tersebut, tulisan ini bermaksud menjelaskan persoalan pendekatan, metode penyajian, serta beragam corak dalam diskurus tafsir al-Qur‟an. Ragam Pendekatan dalam Penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed mencatat ada empat pendekatan tradisional yang digunakan dalam penafsiran al-Qur‟an pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis logika, pendekatan berbasis tasawuf, dan pendekatan riwayat. Saeed menambahkan, bahwa, secara alamiah, banyak hal yang tumpang tindih dalam pendekatan-pendekatan di atas, yang kemudian memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya tafsir al-Qur‟an. Menurutnya, pendekatan-pendekatan ini disuguhkan untuk kepentingan analisis menurut Saeed, meskipun ada berbagai pendekatan yang berbeda, namun ada kesamaan yang jelas mengenai pentingnya memahami teks-teks al-Qur‟an -terutama teks hukum dan semi hukum- secara literal. Pendekatan literal ini berdasarkan pada analisis filologis terhadap teks dan mengikuti riwayat yang dikumpulkan, dalam bentuk hadis atau pendapat para ulama masa lalu. Namun, Saeed menyayangkan fakta bahwa pendekatan ini tidak menekankan pemahaman akan pentingnya mempetimbangkan konteks makroal-Qur‟an yang asli, atau mengidentifikasi bagaimana al-Qur‟an relevan dengan konteks itu. Melihat kenyataan ini, Saeed kemudian mengusulkan pentingnya pendekatan kontekstual dalam diskursus tafsir al-Qur‟an. Pada umumnya, seorang mufasir tidak hanya berpegang pada satu pendekatan saja ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Kecuali pendekatan mistis, ketiga pendekatan lainnya hampir selalu terlibat dalam karya-karya tafsir klasik dengan proporsi yang beragam. Secara ekslusif, pendekatan berorientasi mistis banyak dipraktekkan oleh para mufasir dari kalangan sufi dan shi‟ah. Sementara itu, kategori lain membagi pendekatan hanya menjadi dua saja, yakni pendekatan Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual Bandung Mizan, 2016, 30 Ibid., 31 “Konteks Makro” merujuk kepada konteks al-Qur‟an secara sosial, politik, kultural, ekonomi, intelektual pada awal abad ke-7 M. di jazirah Arab khususnya Makkah dan Madinah. Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 ,… 31 Manna Khalil al-Qatttan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Jakarta Litera AntarNusa, 2001, 495 Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an Jakarta Gaya Media Pratama, 2007, 168., lihat juga dalam Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21,… 33 91 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH berbasis riwayat dan pendekatan berbasis pada ra’yu, dengan pengertian ra’yu sebagai segala pertimbangan selain riwayat. Pemaparan tulisan ini berdasarkan pada tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir al-Qur‟an klasik ke dalam empat bentuk, dan ditambah satu pendekatan yang berkembang di era modern-kontemporer, yaitu pendekatan kontekstual. Pendekatan Linguistik. Penggunaan pendekatan linguistik atau kebahasaan memiliki alasan yang kuat, mengingat al-Qur‟an merupakan pesan-pesan Allah yang dikemas dalam media bahasa. Cara paling mendasar untuk memecahkan pesan-pesan tersebut adalah mencocokkannya dengan pengetahuan kebahasaan yang secara konvensional telah berlaku dalam kehidupan bangsa Arab. Tanpa bahasa Arab, tak ada yang dapat dipahami dari al-Qur‟ pengetahuan kebahasaan untuk menafsirkan al-Qur‟an bukan berarti selalu memaknai setiap kata dan kalimat-kalimatnya secara harfiah literal. Orang Arab mengenal mantuq makna tersurat dan mafhum makna tersirat, sehingga pemahaman tidak harus didapat dari kata-kata yang tertulis. Seperti dalam bahasa lain, sebagian lafaz dalam bahasa Arab kadang juga memiliki makna haqiqi literal dan sekaligus majazi metafor. Dalam konteks makna haqiqi, sebuah lafaz ada kemungkinan memiliki makna syar’i legal, urf konvensional dan atau lughawi etimologis sekaligus. Secara literal, kata tangan bermakna salah satu anggota badan, tapi secara metafor, tangan juga bisa bermakna kekuasaan qudrah.Pendekatan Berbasis Logika Ketika suatu lafaz memiliki banyak alternatif makna, mana yang akan dipilih untuk diterapkan dalam memahami suatu ayat? Agar dapat menjawabnya, seorang mufasir harus mengaktifkan seluruh daya pikirnya ijtihad. Apa yang dilakukan oleh kelompok Mu‟tazilah, yang gemar mengalihkan makna literal ayat menuju makna metafornya, atau yang biasa disebut dengan istilah ta‟wil, tidak lain hanyalah usaha untuk menjatuhkan pilihan makna yang dianggap paling tepat di antara alternatif makna yang tersedia dalam khazanah bahasa Arab berdasarkan suatu indikator qarinah. Misalnya makna harfiah al- Muhammad bin Salih al-„Uthaimin, Syarh Muqaddimah Usul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 H, 159 Ata‟ bin Khalil, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, Beirut Dar al Ummah, 2006, 32 Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut Dar al Fikr, 2008, 306 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 92 Qur‟an yang dalam kacamata suatu mazhab teologis berimplikasi pada penyematan sifat makhluq kepada Allah SWT antropomisme/tasybih. Barangkali inilah salah satu bentuk pendekatan tafsir berbasis logika yang dipraktekkan dalam tradisi tafsir. Di sini kita dapat menyaksikan pertalian antara pendekatan bahasa dengan logika. Tidak heran jika secara tradisional, penafsiran kebahasaan, seperti Tafsir Jalalain, tercakup pula dalam kategori tafsir bi al- ra’ logika kadang juga sering dihubungkan dengan kecenderungan untuk menghubungkan al-Qur‟an dengan ilmu pengetahuan atau menjelaskan hal-hal gaib yang tidak bisa dinalar dengan cara tertentu, sehingga tidak bertentangan dengan sains modern. Muhammad Abduh misalnya, memaknai batu-batu dari sijjil yang dibawa oleh burung-burung Ababil sebagai mikrobia atau virus pembawa Berbasis Tasawuf Seorang mufasir yang mendekati al-Qur‟an secara mistis melihat ayat-ayat al-Qur‟an sebagai simbol atau isyarat, merujuk pada perkara yang melampaui makna kebahasaannya. Dengan kata lain, menurut para pengguna pendekatan ini, al-Qur‟an memiliki dua tingkat makna, yakni makna lahir dan makna lahir al-Qur‟an adalah makna kebahasaan yang dibahas oleh para mufasir pada umumnya, sedangkan makna batin adalah pesan tersembunyi di balik kata-kata. Makna ini hanya bisa ditangkap melalui penyingkapan kashf yang dialami oleh mereka yang melakukan latihan mental sampai tingkat tertentu hingga Allah memberinya pengetahuan yang bersifat prakteknya, terkait dengan firman Allah [], menurut Sahl al-Tustari, makna lahir dari “awwala bait” adalah bangunan pertama yang didirikan untuk beribadah, yakni Ka‟bah. Sedangkan makna batinnya adalah Rasulullah saw. Akan beriman kepada beliau siapa saja yang Allah telah menetapkan tauhid di dalam hatinya. Adapun kecenderungan teoritis dalam tafsir-tafsir kaum sufi, termasuk kategori ra’yu. Muhammad Husain al-Dhahabi, Ilm al-Tafsir ttp Dar al-Ma‟arif, tt, h. 67., lihat juga al-„Uthaimin, Sharh Muqaddimah Usul al-Tafsir Riyad Dar al-Minhaj, 1432 H, 160 Lihat dalam Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-Rahin Aman Maktabah al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982, 267 Muhammad Husain al-Dhahabi, Ilm al- Tafsir ttp Dar al-Ma‟arif, tt, 72 Muhammad Husain al-Dhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 1993, 92 93 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Pendekatan Berbasis Tradisi Riwayah. Riwayat, khususnya hadis Nabi saw, memiliki peranan penting dalam tafsir tradisional. Riwayat dari Rasulullah saw berperan dalam menjelaskan makna al-Qur‟an yang global, mengkhususkan hal yang umum, membatasi hal yang mutlak. Riwayat juga menjadi sumber informasi tentang kondisi spesifik yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur‟an sabab al-nuzul yang penting dalam memahami lingkup masalah yang dicakup oleh suatu ayat. Pengetahuan tentang ayat-ayat yang mansukh tak lepas pula dari peranan riwayat dalam penafsiran al-Qur‟an. Para ahli tafsir klasik juga memakai penjelasan yang bersumber dari para sahabat dan sebagian tabi‟in, sekalipun mereka sadar, besar kemungkinan apa yang diriwayatkan itu merupakan ijtihad ra’yu sejauh bukan merupakan ijma’ mereka. Tidak mengherankan jika di antara mereka yang dinukil penafsirannya itu sering muncul perbedaan pendapat. al-Tabari sendiri, selaku penyusun kitab tafsir bil ma’thur paling masyhur, sering mengaktifkan ra’yu-nya dalam mentarjih satu pendapat yang dianggapnya benar, seperti saat membahas makna “kursiy”, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kalimat-kalimat sebelumnya, dan dengan menghadirkan ungkapan-ungkapan orang Arab, al-Tabari lebih memaknainya dalam arti pengetahuan „ilmu yang didasarkan pula pada salah satu riwayat dari Ibnu „Abbas Kontekstual. Pendekatan ini didasarkan pada pandangan bahwa, lafaz-lafaz al-Qur‟an diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan spesifik yang dihadapi oleh Nabi saw dan para sahabat di lingkungan mereka dan pada waktu hidup mereka. Terdapat jarak waktu yang sangat jauh antara masa itu dengan hari ini. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia sudah jauh berbeda, realitas kehidupan manusia pun sudah tidak lagi sama. Oleh karenanya, aturan-aturan hukum yang secara literal ada di dalam al-Qur‟an dianggap terikat dalam konteks tertentu, tidak bisa diaplikasikan lepas dari konteksnya. Padahal sebagai wahyu terakhir, al-Qur‟an harus senantiasa salih likulli zaman Muhammad Ali al-Hasan, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur’an Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007, 57 Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir dalam al-„Uthaimin, Syarh Muqaddimah, .. 156. Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Vol. IV, Giza Dar Hijr, 2001, 540 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 94 wa makan. Untuk itu, pendekatan ini memandang bahwa petunjuk al-Qur‟an tidak cukup hanya dicari di dalam teks. Harus ada usaha untuk memahami konteks sejarah saat mana al-Qur‟an itu diturunkan, baik keadaan sosial, politik, ekonomi, budayanya, dan lain spesifik yang ingin dipecahkan oleh tiap-tiap hukum dalam al-Qur‟an pada konteks tersebut juga harus dipahami; alasan pemberlakuan hukum ratio-legis al-Qur‟an atas suatu kasus harus ditangkap, selanjutnya alasan tersebut digeneralisasikan dalam bentuk tujuan-tujuan moral-sosial umum yang kohenren dengan pesan al-Qur‟an secara utuh. Tujuan moral-sosial umum itulah yang kemudian dibawa ke masa kini untuk dituangkan dalam rumusan yang sesuai dengan keadaan zaman. Abdullah Saeed menyebutnya sebagai pendekatan kontekstual, dan menambahkan perlunya “konteks penghubung”, yakni mempelajari bagaimana generasi sebelumnya mengembangkan tradisi tafsir dalam konteks kesejarahan yang membentang antara hari ini dan masa turunnya al-Qur‟ menurut Saeed, pemahaman atas teks al-Qur‟an secara tekstual sering gagal melihat pelbagai nilai dan prinsip etis dan moral umum yang hendak ditanamkan oleh al-Qur‟an ke dalam pikiran dan hati orang-orang beriman. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan kesetaraan berperan penting dalam penafsiran teks al-Qur‟an dan semestinya diberi perhatian yang di atas memperlihatkan bahwa pendekatan kontekstual mengasumsikan adanya nilai-nilai kebajikan yang secara independen eksis dengan sendirinya, tidak semata ditentukan oleh keputusan hukum secara arbitrer, justru hukum Islam bertumpu di atas nilai-nilai yang sudah ada itu. Tokoh-tokoh modern-kontemporer yang tergolong dalam aliran kontekstualis ini diantaranya adalah Fazlur Rahman, dengan teori double movement-nya, Muhammad al-Talibi dengan konsep al-tafsir al-maqasidi-nya, serta Nasr Hamid Abu Zayd dengan konsep al-tafsir al-siyaqi, dan beberapa sarjana kontemporer lain. Embrio gagasan ini sebenarnya telah disinggung oleh al-Shatibi w790H dalam karyanya al-Muwafaqat. Ia menyebutnya dengan istilah sabab al-nuzul al-am. Lihat Ibrahim bin Musa al-Shatibi, al-Muwafaqat, Penerbit Dar Ibn Affan, 1997, 154 Fazlur Rahman, Islam and Modernity,... 5-7 Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21,... 15 Ibid., 40 95 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Ragam Metode dalam Penafsiran al-Qur’an Kata metode berasal dari bahasa yunani “methodos” berarti “cara atau jalan”. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan “manhaj”. Dalam pemakaian bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berpikir baik-baik mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan mencapai tujuan yang ditentukan”.Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Imam al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur‟an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayyan, sebagaimana dikutip al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung tafsir juga bermakna produk tafsir, atau literatur tafsir. Maka metode tafsir adalah cara yang ditempuh untuk melakukan manafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Tafsir Tahlili Kata tahlili berasal dari bahasa Arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau menganalisa. Dengan metode ini, seorang mufasir akan mengungkap makna setiap kata dan susunan kata secara rinci dalam setiap ayat yang dilaluinya dalam rangka memahami ayat tersebut dalam secara koheren dengan rangkaian ayat di sekitarnya tanpa beralih pada ayat-ayat lain yang berkaitan dengannya kecuali sebatas untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap ayat tersebut. Dalam metode ini, penafsir akan memaparkan penjelasan menggunakan pendekatan dan kecenderungan yang sesuai dengan Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, 54. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011, 209-211. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer Yogyakarta LkiS, 2011, 30 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 96 pendapat yang dia adopsi. Pendekatan yang digunakan bisa pendekatan bahasa, rasio, riwayat maupun isyarat. Contoh literatur tafsir yang disusun dengan metode ini antara lain Tafsir al-Tabari, dan Tafsir Ibnu Kathir. Tafsir Ijmali Mufasir menyebutkan rangkaian ayat al-Qur‟an yang panjang, atau sekelompok ayat al-Qur‟an yang pendek, kemudian menyebutkan maknanya secara umum tanpa panjang lebar maupun terlalu singkat. Dalam hal ini, dia berusaha untuk mengaitkan antara teks al-Qur‟an dengan makna, yaitu mengutarakan makna tersebut dengan sesekali menyebutkan teks al-Qur‟an yang berkaitan dengan makna-makna itu secara jelas. Di antara kitab tafsir yang disusun dengan cara seperti ini adalah Tafsir Jalalain karya al-Suyuti dan al-Mahalli. Tafsir Muqarin Tafsir Muqarin adalah upaya yang dilakukan oleh mufasir dalam memahami satu ayat atau lebih kemudian membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema tapi redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan teks hadis Nabi, perkataan sahabat, dan tabi‟in. Termasuk dalam wilayah tafsir Muqarin adalah mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya, atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi seperti Al Qur‟an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur.Dari penjelasan di atas, nampak jelas sekali bahwa wilayah kajian tafsir Muqarin sangat luas, objek kajiannya juga beragam, dan macam-macam atau modelnya juga beragam. Dalam hal ini bisa diklasifikasikan menjadi 4 empat model atau macam, yaitu Pertama, Perbandingan antar ayat Al Qur‟an muqaranah bain al ayat Al Qur’an Dalam model ini, peneliti melakukan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi namun berbeda dalam maknanya, atau memiliki kemiripan makna/tema tapi redaksinya berbeda. Atau bisa berupa kajian terhadap ayat yang secara lahiriah bertolak belakang pengertian atau maknanya. Dalam hal ini peneliti Samir Abd al-Rahman Rasywani. Manhaj al- Tafsir al-Maudhu’i li al- Qur’an al-Karim Dirasah Naqdiyah Alepo Dar al-Multaqa, 2009, 48-49 Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al -Tafsir wa Manahijuhu, Maktabah al-Tawbah, 1419 H, 60 97 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH harus merujuk kepada penafsiran-penafsiran para ulama, kemudian mencari titik temu, solusi, memberikan dukungan atau kritikan, maupun mencari persamaan dilalah ataupun hikmah-hikmah dibalik kemiripan-kemiripan tersebut. Kedua, Perbandingan antara ayat Al Qur‟an dengan teks hadis Nabawi Dalam model ini, peneliti mengkompromikan antara ayat Al Qur‟an dengan teks hadis yang secara lahiriah nampak bertentangan atau bertolak belakang. Ketiga, Perbandingan pendapat antar mufassir Dalam model ini, peneliti melakukan kajian mendalam terhadap interpretasi seorang mufasir kemudian membandingkannya dengan mufasir lain lintas madzhab, aliran, latar belakang keilmuan, maupun lintas zaman klasik-pertengahan-modern-kontemporer. Keempat, Perbandingan teks Al Qur‟an dengan teks-teks kitab samawi Dalam model ini, peneliti melakukan telaah secara mendalam mengenai satu tema dalam Al Qur‟an kemudian membandingkannya dengan tema sejenis dalam kitab-kitab samawi Injil/Bibel, Taurat, Zabur. Dalam proses ini, peneliti berupaya mencari letak kelebihan Al Qur‟an dalam kapasitasnya sebagai kitab risalah Nabi terakhir dari kitab samawi terdahulu, mencari beberapa penambahan dan penyimpangan ajaran maupun dalam kisah-kisah kitab samawi terdahulu. Atau bisa juga mencari data yang bertujuan saling melengkapi atau menafsiri antara al-Qur‟an dan kitab-kitab samawi Mawdhu’i Salah satu model penelitian al-Qur‟an adalah model penelitian tematik, bahkan kajian tematik ini menjadi tren dalam perkembangan tafsir era modern-kontemporer. Sebagai konsekuensinya, seorang peneliti akan mengambil tema mawdhu’ tertentu dalam al-Qur‟an. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa dalam al-Qur‟an terdapat berbagai tema atau topik, baik terkait persoalan teologi, gender, fiqih, etika, sosial, pendidikan, politik, filsafat, seni, budaya dan lain sebagainya. Namun, tema-tema ini tersebar di berbagai ayat dan surat. Oleh sebab itu, tugas peneliti adalah mengumpulkan dan memahami ayat-ayat yang terkait dengan tema yang hendak diteliti tersebut, baik terkait langsung maupun tidak langsung. Kemudian peneliti melakukan rekonstruksi secara logis dan metodologis untuk menemukan konsep yang utuh, holistik dan sistematis dalam perspektif Ibid., hal. 61 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 98 al-Qur‟an. Metode ini diharapkan mampu mengeliminasi gagasan subyektif penafsir, atau setidak-tidaknya, gagasan „ekstra qurani‟ dapat diminimalisir sedemikian rupa, sebab antara ayat satu dengan ayat yang lain yang terkait dengan tema kajian dapat dianalogkan secara kritis, sehingga melahirkan kesimpulan yang relatif metode tafsir maudhu’i adalah memilih salah satu tema yang dikandung oleh al-Qur‟an, kemudian mengumpulkan ayat-ayat dan surat yang berkaitan dengan tema tersebut layaknya menghimpun bagian-bagian badan yang terpisah, kemudian mengikatnya satu sama lain, dengan itu terbentuklah gambaran tema secara utuh sehingga ayat-ayat al-Qur‟an akan saling menafsirkan satu sama Corak dalam Penafsiran al-Qur’an Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul, yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abba>siyah. Momentum ini menemukan masa emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti Abba>siyah, yaitu Harun al-Rashi>d 785-809 M. Sang khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh khali>fah berikutnya yaitu al-Makmu>n 813-830 M. Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman keemasan the golden age. Disisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Qur’an, serta mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah kemudian tafsir fiqhi, tafsir i’tiq}a>di, tafsir s}ufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta IDEA Press, 2015, 57 Ibid., 40 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 61. Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur,2009, 20. 99 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH intelektual seseorang mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada periode abad tafsir yang berhasil dikaryakan oleh sarjana-sarjana muslim pada masa itu antara lain seperti tafsir Ja>mi’ al-Baya>n an Ta’wi>l al-A>yat al-Qur’a>nkarya Ibnu Jari>r al-Thabari w 923 M, al-Kasysya>fkarya Zamakhshari w1144 M yang bercorak ideologi Mu’tazilah, kemudian Mafa>tih al-Ghaib karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi w1209 M dengan corak teologi sunni, dan Tafsir al-Jala>lain karya al-Mah}}alli w1459 M bersama al-Suyu>ti w1505 M dengan corak lughawi. Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang yang membaca kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam corakalwa>n-nya tidak akan memiki keraguan bahwa segala hal yang berkaitan dengan kajian-kajian tafsir tersebut telah dibahas dan dirintis oleh mufasir-mufasir terdahulu al-Aqdamu>n. Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan populer hingga masa modern ini adalah sebagai berikut Corak LughawiCorak lugha>wi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata tahli>l al-lafz}, mulai dari asal dan bentuk kosa kata mufrada>t, sampai pada kajian terkait gramatika ilmu alat, seperti tinjauan aspek nah}wu, s}arf, kemudian dilanjutkan dengan qira>’at. Tak jarang para mufasir juga mencantumkan bait-bait syair arab sebagai landasan dan karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nah}wu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 61. Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Mus‟ab ibn Umar al-Islamiyah, 2004, 194. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 87-89 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 100 bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait nah}wu, s}arf, etimologi, bala>ghah dan qira>’at sebagai syarat utama bagi seorang mufasir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an. Diantara kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughah adalah Tafsir al-Jala>lain karya bersama antara al-Suyu>t}i dan al-Mah}alli, Mafatih} al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra>zi, dan lain-lain. Corak Filsafat Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan itu pada masa Khila>fahAbba>siyah banyak digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam. Corak Ilmiah Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu, al-Qur’an juga dianggap dan diyakini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah ta’ala telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat qur’aniah, oleh karena itu, dalam al-Qur’an kita temukan ayat-ayat seperti Beberapa ayat di atas mendorong manusia untuk berfikir dan memahami al-Qur’an secara mendalam. Keberadaan ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti Ahmad Shurbasi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta Kalam Mulia, Cet. I, 1999, 31 101 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH ini ditujukan bagi kelompok tertentu yang mampu berfikir secara mendalam. Merekalah yang dibebani untuk menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu melakukannya, sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat mengungkap keindahan bahasa al-Qur’an. Dengan semangat ini, bermunculan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan hasil pemikiran dan pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahru>r, sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berisi informasi ilmu pengetahuan diperlukan ‚ta’wi>l ilmi‛ penafsiran secara ilmiah. Dengan demikian, posisi Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi sebenarnya belum melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berisi informasi ilmu pengetahuan tersebut. Nabi hanya diberi tugas untuk menyampaikannya kepada manusia tanpa menakwilkannya. Kalaupun Nabi melakukan takwil, maka takwil itu merupakan sesuatu yang nisbi, sesuai dengan konteks zamannya. Berangkat dari paradigma ini, penakwilan terhadap al-Qur’an harus dilakukan secara terus menerus sesuai perkembangan dan kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan. Asumsi ini berlandaskan pada konsep thaba>t al-nash} wa taghayyur al-muh}tawa> bahwa teks al-Qur’an itu tetap, sedangkan pemahaman mengenai kandungannya bersifat dinamis. Masih menurut Shahru>r, dengan melakukan takwil, seseorang akan dapat membuktikan kemu’jizatan al-Qur’an, tidak saja dari aspek linguistic atau keindahan bahasa, akan tetapi juga dari aspek saintifik dan sisi keilmiahannya. Hal ini karena al-Qur’an tidak hanya untuk orang arab, melainkan untuk seluruh saja, perlu digarisbawahi, bahwa meskipun ayat-ayat al-Qur’an bisa di takwil oleh manusia, namun yang dapat menakwilkan secara sempurna hanyalah Allah, sebab pengetahuan Allah bersifat sempurna dan mutlak, sedangkan hasil takwil yang dilakukan oleh manusia bersifat relatif, karena pengetahuan manusia juga bersifat nisbi. Sebagai konsekuensinya, takwil harus bersifat ‚sairu>rah‛ on Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 128 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 128 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 102 going process berkembang terus-menerus seiring kemajuan dan perkembangan teori ilmu yang dipercayai gigih dalam mendukung tafsir ilmi adalah al-Ghaza>li w 1111 M. Dalam dua kitabnya, yaitu Ihya>’ Ulum al-Di>n dan Jawa>hir al-Qur’an ia banyak mengemukakan pendapatnya beserta alasan-alasan yang juga mengatakan ‚segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Kari>m‛.Hal ini menurut al-Ghaza>li, karena segala macam ilmu termasuk dalam af’a>l Allah dan sifat-sifat-Nya, sedangkan al-Qur’an menjelaskan tentang z}at, af’a>l, dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas, dan di dalam al-Qur’an terdapat isarat-isarat menyangkut prinsip-prinsip terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, ‚Apabila aku sakit maka Dia-lah yang mengobatiku‛ QS 2680. Obat dan penyakit, menurut al-Ghaza>li tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isarat tentang ilmu lain adalah Fakhruddin al-Ra>zi, 1209 M, meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Ghaza>li, namun dalam kitabnya, Mafa>tih} al-Ghaib, ia banyak melakukan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali lainnya adalah T}ant}a>wi Jauhari 1870-1940 dalam karyanya Tafsi>r al-Jawa>hir, bahkan sebelumnya, Muhammad Rashi>d Rid}a 1865-1935 dengan Tafsir al-Mana>r-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Menurut penilaian Ignaz Goldziher, ia berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an mencakup segala hakikat Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an ; Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus al-Ahali li al-Thiba‟ah al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1992, 60. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur‟an Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 154. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo al-Tsaqafah al-Islamiyah,1356 H, 301. Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an, Mesir, Percetaka Kurdistan,tt, 31-32. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 155. Ibid. 103 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khusunya di bidang filsafat dan Fikih Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya, corak fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir aya>t al-Ahka>m atau tafsir ahka>m karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak yang banyak diterima hampir semua mufasir. Tafsir ini berusia sudah sangat tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam deretan daftar nama-nama kitab tafsir aya>t al-Ahka>m, baik dalam bentuk tahli>li maupun maud}u’i, antara lain Ahka>m al-Qur’a>n karya al-Jas}s}a>s} 917-980 M, seorang faqi}hmaz}hab Hanafi. Ahka>m al-Qur’a>n karya ibn al-Ara>bi 1075-1148 M. al-Ja>mi’ li ahka>m al-Qur’a>n karya al-Qurt}u>bi w1272 M. ahka>m al-Qur’ankarya al-Sha>fi’i w 204 H.. dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahka>m. Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah kalimat dalam masalah wudhu’ yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca mans}ubfath}ah maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika majrurkasrah maka yang wajib hanya Tasawuf Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi. Antara lain adalah Tafsi>r al- Ibid. Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur,2009, 200. Ibid, 201. Abu Abdillah al-Qurt}ubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Bairut, Lebanon Dar al-Kutub al-Araby, Cet. V, 2003 Jilid. 6 hal. 90 Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 108. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 104 Qur’a>n karya Sahal ibn Abdillah al-Tusta>ri w 283H. Tafsir ini dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qur’an 30 muncul pula Haqa>iq al-Tafsi>rkarya Abu Abdurrahman al-Sulami> w 412 H. Namun tafsir ini dinilai oleh Ibnu S}alah} dan al-Dhahabi sebagai tafsir yang banyak mengadung kecacatan, bahkan dituduh banyak bid’ah, berbau shi’ah dan banyak memuat hadis palsu maud}u>’. Demikian pula al-Dhahabi dalam kitab Taz}kirah al-Huffa>z}pernah berkomentar bahwa kitab Haqa>iq al-Tafsi>rbanyak terdapat takwil kaum bat}i>ni>. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minha>j al-Sunnah menyatakan bahwa kitab tersebut banyak dusta. Ada juga pula Lat}a>if al-Isha>ra>t karya Abd al-Karim ibn Hawa>zin ibn Abd al-Ma>lik ibn T}alh}ah ibn Muhammad al-Qushairi> 374 H- 465 H. Kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang dan selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syariat dan hakikat, antara lain makna lahir dan batin. Selain itu, tafsir tersebut relatif steril dari pembelaan ideologi maz}hab. Corak al-Adabi wa al-Ijtima>’ial-Adabi wa al-Ijtima>’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-Ijtima>’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra tafsir adabi, dan corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima>’i. Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk mas}darinfinitif dari kata kerja mad}i aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima>’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima>’i adalah tafsir yang berorientasi pada sosial- kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta Pustaka Pelajar, 2008, 62. Ibid. Ibid. M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an Bandung PUSTAKA ISLAMIKA, 2002, 316-317. 105 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Kepopuleran corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh 1849-1905. Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima>’i adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah indah corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima>’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada budaya kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Simpulan Pendekatan tafsir merupakan cara yang ditempuh oleh mufasir dalam mengungkap makna-makna al-Qur‟an, yang oleh Abdullah Saeed dibagi ke dalam lima bentuk, yaitu pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis nalar-logika, pendekatan berbasis riwayat, pendekatan berbasis tasawuf, serta pendekatan kontekstual. Metode penafsiran al-Qur‟an merupakan cara yang digunakan penafsir untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, antara lain ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Di samping itu, juga ada ragam corak kecenderungan dalam penafsiran al-Qur‟an, seperti corak lughawi, sufi, fikih, filsafat, sosial dan lain-lain. Menurut Abdullah Saeed, secara alamiah, banyak hal yang tumpang tindih dalam pemetaan di atas, yang kemudian memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya tafsir al-Qur‟an. Menurutnya, pemetaan ini disuguhkan hanya untuk kepentingan analisis saja. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 108. Ibid. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 106 Daftar Pustaka Muhtasib al, Abd al-Majid Abd al-Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-Rahin, Aman Maktabah al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta LkiS, 2011. Saeed, Abdullah, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, Bandung Mizan, 2016. Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011. Uthaymin al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 H. Ghazali al, Abu Hamid Muhammad, al-Mustashfa fi Usul al-Fiqh, Beirut Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2008. Suyuti al, Jalal al-Din Abd. al-Rahman, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut Dar al-Fikr, 2008. Khalil, Ata‟ ibn, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, Beirut Dar al-Ummah, 2006. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity,Chicago University of Chicago Press, 1982. Hanafi, Hasan, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Yogyakarta Nawesea, 2007. Shatibi al, Ibrahim ibn Musa, al-Muwafaqat, Penerbit Dar Ibn Affan, 1997. Qatttan al, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta Litera AntarNusa, 2001. Hasan Muhammad Ali, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007. Tabari al, Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, Vol. IV, Gaza Dar Hijr, 2001. Dhahabi al, Muhammad Husain, Ilm al-Tafsir, ttp Dar al-Ma‟arif, ___________________________, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Baidan, Nasaruddin, Metode Penafsiran al-Quran, Yogjakarta Pustaka Pelajar, 2002. Wielandt, Rotraud, Tafsir Al-Qur’an, Masa Awal, Modern dan Kontemporer. Jurnal Taswirul Afkar, 2004. Rashwani, Samir Abd al-Rahman, Manhaj al-Tafsir al-Mawdhu’i li al-Qur’an al-Karim, Alepo Dar al-Multaqa, 2009. 107 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Abidu, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an Jakarta Gaya Media Pratama, 2007. ... Menurut Al-Farmawi, tafsir maudhu'i merupakan suatu pola penafsiran yang diawali dengan mengumpulkan ayat Al-Qur'an yang memiliki tujuan dan arti tentang suatu topik, kemudian disusun berdasarkan masa turun ayatnya serta memperhatikan konteks historis ayat tersebut, seperti asbab an-nuzul nya kemudian diberikan penjelasan dan uraian, serta komentar akan pokok kandungan ayatnya Sja'roni, 2014. Maka, para mufasir masa kini kemudian akan mengambil suatu topik tertentu di dalam Al-Qur'an pada sejumlah ayat dan surat Kusroni, 2019. Tafsir maudhu'i menjadi salah satu metodologi tafsir yang lazim digunakan oleh mufasir masa kini Siregar, 2018. ...Muhammad Hasan Ali Dadan RusmanaEveryone must have got the measure of sustenance from Allah swt.. However, sometimes some of them subconsciously invest in unnecessary material possessions. The study would be exploring the concept of superfluous in the qur'an. Research methods used are a qualitative kind through library studies with content analysis. The final outcome about the discussions of this research will mentions a general view of waste, a verse about superfluous in the qur'an, and useless analysis of the verse. The final conclusion of this study represent that it is costly to waste, and these waste forms could include possessions, food, drink, and excessive use of other necessities. There are several ways to avoid the wasteful behavior given by clerics. The study recommends the importance of avoiding wasteful behavior so that avoid the harmful effects of being a brother to devil.... Guna menafsirkan teks hukum, Hukum Islam juga menyediakan aneka metode berijtihad baik berupa metode interpretasi maupun metode argumentasi. Teks al-Qur'an maupun as-Sunah dapat ditafsirkan antara lain secara historis, yakni dengan memahamai asbabun nuzul al-Qur'an dan asbabul wurud al-Hadis, ditafsirkan secara teleologis atau mendasarkan pada tujuan, yakni dengan mendasarkan pada maqashid syariah dan hukum Islam juga menyediakan kerangka argumentasi berupa metode qiyas atau yang dapat diartikan sebagai analogi Kusroni, 2019. Harmonisasi dilakukan guna mendapatkan sinkronisasi dan koherensi antara aturan yang akan dibentuk dengan aturan-aturan lain yang sudah ada, sehingga dengan dibentuknya aturan baru dalam hal ini POJK/SEOJK yang mendasarkan pada fatwa in line dengan aturan-aturan lain dan sekaligus praktik di lembaga keuangan. ...Khotibul Umam Vina Berliana KimberlyPenelitian ini bertujuan menganalisis peran Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah dalam interpretasi dan harmonisasi fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI guna memberikan rekomendasi bagi pembentukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK di bidang keuangan syariah, serta prinsip hukum yang dijadikan sebagai dasar bagi realisasi peran dimaksud. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan 1 Peran KPJKS dalam melakukan interpretasi dan harmonisasi fatwa DSN-MUI bagi pembentukan POJK di bidang keuangan syariah, yakni memberikan rekomendasi bagi OJK; dan 2 Prinsip hukum yang dijadikan sebagai dasar bagi realisasi peran dimaksud guna menghasilkan rekomendasi, yakni prinsip kemaslahatan.... 10 Kitab al-Qusyairī ini mendapatkan respon yang cukup positif jika dibandingkan dengan karya gurunya. 17 Al-Qusyairī merupakan seorang mufassir yang hidup pada abad ke 5 H/11 M. Ia memiliki dua produk tafsir yang dikarang sebelum dan sesudah mengenal tasawuf, tafsir yang karang olehnya sebelum mengenal tasawuf diberi judul al-Taisīr fī 'ilm al-Tafsīr diselesaikan sebelum tahun 410 H. Kitab Tafsir ini murni menggunaan metode eksoterik yang menggunakan pendekatan analisis bahasa, asbāb al-nuzūl, fiqh dan kalam. Tafsir yang kedua adalah Laṭā'if al-Isyārāt yang diselesaikan sekitar tahun 434 H. Tafsir ini ditulisnya setelah mengenal dan belajar tasawuf dari para gurunya. ...Naryono NaryonoThis study examines the verses of tasybīh according to Abd al-Karīm al-Qusyairī such as Arsy Allāh, Yad Allāh, and Wajh Allāh. The question that will be discussed is how al-Qusyairī interprets the verses of tasybīh in Laṭā’if al-Isyārāt. To get maximum results, the authors use descriptive-analytical methods, data are collected and compiled then analyzed. The primary source in this study is Laṭā’if al-Isyārāt, by Abd al-Karīm al-Qusyairī. The secondary sources are the books of al-Qusyairī such as Risālah al-Qusyairīyah, Tartib al-Sulūk, Arba’ Rasā’il fī al-Taṣawuf. The results of this study indicate that 'Arsy according to al-Qusyairī is divided into two, namely 'Arsy al-Samā' where Allah resides and 'Arsy Rahmān 'Arsy earth located in the hearts of the ahl al-Tauhid people those who insult Allah, whereas for the words Yad Allāh, and Wajh Allāh are ordained with the power held by SujaiArtikel ini membahas pendekatan studi tafsir kontemporer yang bercorak kritis dan transformatif. Kritisisme pendekatan tafsir kontemporer menempatkan produk penafsiran klasik bukan sebagai kebenaran mutlak, tetapi sebagai produk zaman yang perlu dikaji ulang. Pendekatan tafsir kontemporer menekankan transformasi makna untuk kepentingan transformasi umat dan memecahkan problem yang muncul berkembang dalam masyarakat muslim. Ada dua pertanyaan utama dalam artikel ini Pertama, bagaimana metode pendekatan studi tafsir kontemporer. Kedua, bagaimana varian pendekatan tafisr kontemporer. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data diperoleh melalui telaah kepustakaan, yakni sumber primer berupa buku-buku dan artikel yang terkait dengan studi tafsir kontemporer. Artikel ini menemukan; Pertama, pendekatan tafsir kontemporer menggunakan metodologi kontemporer multidisip di bidang sosial-humaniora. Kedua, metode tafsir kontemporer memiliki varian pendekatan seperti historis-kritis, sosiologis, hermeneutika dan Nadiyah SalmaLaili Mas Ulliyah HasanKhowarizmi Abdul Karim Uril BahruddinLearning the interpretation of the Qur'an more precisely on thematic interpretation material, still faces obstacles in the field, including not being able to produce output that can use interpretation well. The purpose of this research is to understand 1 the application of a communicative approach in learning interpretation of Qur’an at Al Jihad Islamic Boarding School Surabaya for female, 2 the obstacles faced by teachers in applying a communicative approach in learning interpretation of Qur’an at Al Jihad Islamic Boarding School Surabaya fro female. This research uses a qualitative approach with a descriptive type of research. Research data were collected through interviews, observation, and documentation. Data analysis was carried out using Miles and Huberman's model, are 1 data collection, 2 data reduction, 3 data presentation, 4 concluding. The results showed that the application of the communicative approach through several steps, there are short dialogues, exercises, questions, communicative expressions, analysis and concluding, then evaluation. And also there several obstacles in the application of the communicative approach, it is the lack of confidence in students in expressing the results of thematic interpretations orally in Arabic, there are difficulties in developing the delivery of some material into a communicative approach, and the last is the lack of time available for learning interpretation of holy Qur’an. The conclusion of this study shows that a communicative approach is needed in learning interpretation of holy Qur’an on thematic interpretation material to be more al-Maqāṣidī is a topic of research within the field of Quranic exegesis. The researchers of Quranic exegesis are actively discussing this field of knowledge. It is considered a means of ensuring that Islamic scholars remain steadfast in their interpretation of the verses of the Quran based on Maqāṣid al-Shāriʿ Purpose of order from Allah rather than on their own lusts or desires. Despite the vibrancy of research on Al-Tafsīr al-Maqāṣidī, the theory's construction requires ongoing research, and there is currently no thematic review of the scope of studies conducted on this subject. Therefore, the purpose of this thematic review is to synthesise the literature on the research scope of al-Tafsīr al-Maqāṣidī using 8. This study employs two research methodologies i Quantitative methodology, which involves numerical data; and ii Qualitative methodology, which relies on the thematic analysis related to the study’s scope, al-Tafsīr al-Maqāṣidī. A keyword search followed by an inclusion criteria filter from Google Scholar, Research Gate, and Mendeley databases successfully identified 92 literary works. However, after the inclusion and exclusion criteria were applied, only 68 papers were selected for review. The thematic review conducted in this study identified 86 initial codes characterising the research scope of al-Tafsīr al-Maqāṣidī, which were then classified into 12 clusters. These clusters can be classified into two categories concept clusters and application clusters. The study’s findings discovered that while the effort to construct the theory of al-Tafsīr al-Maqāṣidī has long been undertaken, it has not been considered mature. In terms of application, the application of al-Tafsīr al-Maqāṣidī to contemporary issues is the most popular scope of the study. The findings of this study may benefit future research by addressing research gaps that have not been addressed in order to complete this branch of Quranic MillatiMisogynistic interpretation of women on their menstruation period as "a dirt" that emerged from pre-Islamic Arab society and some classical commentators opened vast space for critics. One of the critics is the interpretation of al-Baqarah verse 222 as an effort to maintain reproduction health. This paper compares the interpretation of al-Baqarah verse 222 in Tafsīr al-Miṣbaḥ by Quraish Shihab, and Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, by Ibn 'Āshūr. These two interpretations are taken because they have relatively similar interpretations when interpreting al-Baqarah verse 222, even though the author's historical setting is different. With the comparative method and theory of qirā’ah mubādalah, this paper answers how the interpretation of Quraish Shihab and Ibn 'Āshūr on al-Baqarah verse 222 and how the linearity of that interpretation is. This paper finds, firstly, that Quraish Shihab and Ibn 'Āshūr agree in interpreting al-Baqarah verse 222 with the prohibition of intercourse, while the wife is on her period to maintain reproduction health and interpret adhā as an uncomfortable condition. It's just that Quraish Shihab defines adhā as disturbance, while Ibn 'Āshūr means al-ḍarr injury or danger. Secondly, the two interpretations use a reciprocal paradigm with the evidence of the meaning of adhā as a disturbance or risk that can be occurred both women and Qurrota AiniBarokah has been around for a long time even though it does not appear to be about its form, but everyone must feel the sweetness of barokah. The problem is that barokah has experienced a decline and has even begun to become extinct because its existence is not clearly visible. That is caused by the lack of public awareness of the power of Allah, so that it depends on the progress of science and technology at this time. Therefore, the author examines the interpretation of Nouman Ali Khan through Youtobe which contains a discussion of baraka as a form of recommendation to the public that the interpreter is very suitable to be studied at the present time. This article includes thematic methods maudhu'i as well as patterns of adab ijtima'i with a linguistic approach, so that the discussion presented by Nouman Ali Khan can be used as a basis for knowing, understanding and changing the paradigm of society through cognitive effects, affective effects, and behavioral SyihabQuraish Syihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, MustaqimAbdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta Pustaka Pelajar, 2008, SupianaM. Karman Supiana, Ulumul Qur'an Bandung PUSTAKA ISLAMIKA, 2002, al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-TafsirAbudin NataMetodologi Studi IslamNata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011. Uthaymin al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 Rotraud, Tafsir Al-Qur'an, Masa Awal, Modern dan KontemporerNasaruddin BaidanMetode Penafsiran Al-QuranBaidan, Nasaruddin, Metode Penafsiran al-Quran, Yogjakarta Pustaka Pelajar, 2002. Wielandt, Rotraud, Tafsir Al-Qur'an, Masa Awal, Modern dan Kontemporer. Jurnal Taswirul Afkar, 2004.
CORAKDAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR'AN (open Ended), Untuk Dipahami Di Tafsirkan Dan Di Ta'wilkan Dalam Prespektif Metode Tafsir Maupun Prespektif Dimensi-dimensi Atau Tema-tema Kehidupan Manusia Dari Sini Mencullah Ilmu-ilmu Untuk Mengkaji Al-Qur'an Dari Berbagai Aspeknya (asbab Al - Nuzul, Filologi Tradisi Dan Substansi) Termasuk Di TAFSIRAL-AZHAR KARYA HAMKA (Metode dan Corak Penafsirannya) Hamka was a activists and scholars who was famous , one of his work known are misinterpretation al-azhar , which were originally only in the discussion in college dawn , then published in the book consisting of 15 volumes .But methods used hamka in tafsirnya is the method tahlili Perbedaanperbedaan inilah yang menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran tafsir yang bermacam-macam. Terminologi Aliran Tafsir. Aliran atau corak tafsir dalam istilah tafsir biasa dikenal dengan istilah madarasah al-tafsir, alwân al-tafsir, manhaj al-tafsir, dan madzâhib al-tafsir. Metodetafsir muqaran adalah metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparatif dan komparasi). 84 c. Corak Tafsir Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang artinya adalah warna. Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir.23 Metode Maudlu'i dan Corak Tafsir Quraish Shihab dalam Buku Wawasan al-Qur'an Menurut Jurnal yang ditulis oleh H. Endad Musyaddad tentang Metode dan Corak Tafsir Quraish Shihab, yang beliau tulis setelah menganalisa buku Wawasan Al-Qur'an. Beliau menyimpulkan bahwa buku tersebut menggunakan metode tafsir maudlu'i. Bila kita berbicara
METODE CORAK, DAN PENAFSIRAN FĀH}ISYAH DALAM TAFSIR AL-IBRĪZ KARYA K.H. BISRI MUSTOFA Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IQT) Fakultas Agama Islam Oleh: NUUR KHANIFAH ZAHROH G100170024 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR FAKULTAS AGAMA ISLAM
| Νиπ звяቫ | ኔжищаፅու иհիхр |
|---|---|
| Εրоди θμэγሡщаተ | Аኒαчαկо зօрኜщо |
| Λиγоሸሺծу уδиኞυгե | Звихичу бахуյօ |
| Υ ቇэσኇηючխտ ቱէдреշጹшοዢ | ጌрωηы убуዱ жа |
| Оֆըጦ բ | ሰσաцαсрε и |
| Еጤ ωςխժ | Иፓէкեռαф уνուф |